Aktivis Masuk Pemerintah: Di antara Keinginan Peralihan dan Realitas Birokrasi
Peristiwa aktivis yang masuk ke pemerintah bukan hal baru di Indonesia. Tetapi pada sekian tahun akhir, trend ini makin mencolok. Banyak figur yang pernah dikenali krisis pada negara, sekarang malah menjadi sisi dari mekanisme yang dahulu mereka revisi. Peralihan peranan ini memunculkan reaksi berbagai ragam dari warga. Ada yang menyongsong positif dengan penuh keinginan, tetapi cukup banyak juga yang menyimpan skeptisisme.
Masuknya aktivis ke pemerintah dipandang seperti jalan baru untuk bawa peralihan dari dalam. Mereka yang sejauh ini berusaha di jalanan, sekarang punyai peluang merangkum peraturan, duduk pada sikap vital, dan menjadi pengambil keputusan.
Dari Jalanan ke Kedudukan
Sejumlah nama aktivis yang sekarang tempati kedudukan di pemerintah diantaranya Faldo Maldini, yang sebelumnya sempat aktif sebagai aktivis mahasiswa saat sebelum menjadi Staff Khusus Menteri Sekretariat Negara. Ada juga Berbudi Sudjatmiko, figur reformasi yang sekarang terturut aktif dalam rumor tehnologi dan pembangunan dusun. Bahkan juga di sejumlah kementerian seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada beberapa nama baru dari background organisasi sosial.
Masuknya aktivis ke pemerintah dipandang bawa energi fresh. Mereka dipandang lebih dekat sama warga, pahami inspirasi dari bawah, dan mempunyai reputasi idealisme yang kuat. Sebagian dari mereka mempunyai jaringan yang kuat dengan komune sipil, hingga diharap sanggup memperantai suara masyarakat dengan lajur peraturan resmi.
Keinginan dan Rintangan
Warga pasti mempunyai harapan tinggi pada beberapa aktivis ini. Mereka diharap sanggup menjaga idealisme dan terus perjuangkan beberapa nilai keadilan sosial, demokrasi, dan transparan. Tetapi, keinginan itu tidak selamanya berjalan lancar. Masuk ke mekanisme birokrasi yang kompleks, penuh ketentuan, dan sepakat politik sering menjadi rintangan besar untuk beberapa bekas aktivis.
Banyak dari mereka harus belajar menyamakan di antara idealisme dan realita politik. Sejumlah bahkan juga dinilai karena dipandang “berbeda haluan” atau terlampau sepakatstis pada kekuasaan.
Contohnya, saat seorang aktivis HAM gabung dengan kementerian dan ditempatkan pada peraturan polemis berkaitan penggusuran atau pelanggaran HAM, public menginginkan keterpihakan yang tegas. Tetapi saat yang berkaitan malah berlaku diam atau bela pemerintahan, kekesalan tidak terhindar.
Tanggapan Warga Sipil
Reaksi sesama aktivis dan ormas sipil juga berbagai ragam. Ada yang masih tetap memberikan dukungan dan yakin jika peralihan dari dalam lebih efektif dibanding cuma mengumandangkan di luar. Tetapi cukup banyak juga yang pilih menjaga jarak, memandang jika aktivis yang masuk pemerintah sudah kehilangan “ruh perjuangan”-nya.
Sejumlah organisasi bahkan juga dengan terbuka mengatakan sikap krisis pada bekas anggotanya sendiri. Untuk mereka, menjaga kredibilitas pergerakan ialah hal khusus. Bila seorang aktivis tidak lagi sanggup mengumandangkan kebenaran secara bebas karena terlilit mix parlay , karena itu tempatnya di pemerintah menjadi kontraproduktif.
Peristiwa Refleksi untuk Demokrasi
Peristiwa ini sebenarnya menggambarkan dinamika demokrasi yang sehat. Aktivis masuk pemerintah ialah bentuk keterlibatan politik aktif. Tetapi demokrasi yang masak menuntut ada pemantauan pada semua petinggi public, tidak kecuali mereka yang dahulunya asal dari warga sipil.
Kedatangan aktivis di pemerintah semestinya menjadi jembatan untuk pembaruan peraturan public, bukan sekedar “pemanis” atau taktik pencitraan. Mereka perlu diberi ruangan untuk bernada, dan ketika yang masih sama, perlu bertanggung jawab tiap cara mereka ke public.
Ringkasan
Masuknya aktivis ke pemerintah adalah kesempatan sekalian ujian. Kesempatan untuk bawa inspirasi warga sipil ke peraturan riil. Ujian untuk loyalitas dan kredibilitas mereka saat ada dalam mekanisme kekuasaan yang penuh rintangan.
Pada akhirannya, wargalah yang hendak memandang. Apa kedatangan beberapa aktivis ini betul-betul bawa peralihan krusial, atau malah terlarut dalam arus kekuasaan. Yang jelas, demokrasi memerlukan suara kritis—baik di luar atau dari dalam pemerintah.